Sejarah Desa Kedungsalam, Perjalana Luwih Eyang Kyai Thalib dari Mataram

MENOREH.CO,Malang – Desa Kedungsalam, Kecamatan Donomulyo, Kabupaten Malang merupakan desa yang masih menjunjung tinggi adat tradisi warisan leluhur. Selain itu juga memiliki sejarah yang cukup panjang.

Tokoh Masyarakat Desa Kedungsalam, Iwan Yuyanto menceritakan Bermula pada kisaran tahun 1900-an, Desa Kedungsalam tersebut masih berupa hutan belantara. Akhirnya, pada abad ke 19 itulah tiba seorang linuwih dari Mataram, Jawa Tengah yang bernama Eyang Kiai Thalib.

Linuwih bisa diartikan sebagai seseorang yang memiliki kelebihan yang tidak dimiliki oleh orang pada umumnya. Bersama dengan segenap pendereknya (pengikutnya), Eyang Kyai Thalib kemudian membabat alas gung lewang lewung (hutan belantara yang luas) menjadi sebuah permukiman.

“Pada akhirnya permukiman warga ini menjadi sebuah desa yang diberi nama Desa Kedungsalam. Semula, masyarakat Desa Kedungsalam hidup dengan tentram. Ketenangan warga mulai terusik pada awal tahun 1913,” imbuh Iwan.

Saat itu, Eyang Kiai Thalib yang mengemban amanah sebagai Kepala Desa Kedungsalam pertama, dibuat kebingungan dengan datangnya sebuah malapetaka.

“Malapetaka itu berupa kelaparan, paceklik, hingga penyakit aneh yang disebut dengan istilah pagebluk,” ucap Iwan.

Malapetaka itu oleh Eyang Kiai Thalib diberi tetenger atau penanda dengan istilah Pagebluk Saparan. Sebab pagebluk saat itu terjadi pada bulan Sapar.

Ditengah kebingungan yang dialami Eyang Kiai Thalib, beliau kemudian teringat oleh seorang wanita yang merupakan keponakannya. Wanita tersebut bernama Eyang Atun yang pada waktu itu berada di Dukuh Wot Galih. Dukuh tersebut saat ini disebut berlokasi di Desa Wonokerto, Kecamatan Bantur, Kabupaten Malang.

“Bersama Eyang Atun, Eyang Kiai Thalib kemudian bersemadi (bertapa/meditasi, red) ditepian Pantai Ngliyep untuk memohon petunjuk Tuhan yang Maha Kuasa guna mengusir pagebluk,” tuturnya.

Usai bersemadi, lanjut Iwan, beliau berdua kemudian mendapatkan wangsit atau petunjuk gaib. Yakni mengadakan Labuh Sesaji atau selamatan di Gunung Kombang untuk mengharap ridho kepada Tuhan yang Maha Kuasa.

“Hingga akhirnya pada tanggal 20 Februari 1913 atau 13 Mulud 1331 hijriah perkiraan pada pukul 16.00 WIB, Eyang Kiai Thalib dan Eyang Atun beserta warganya melakukan Labuh Sesaji di Gunung Kombang untuk pertama kalinya,” ujarnya.

Diterangkan Iwan, Larung Sesaji tersebut ditujukan untuk memohon kepada Tuhan yang Maha Esa agar pagebluk yang melanda Desa Kedungsalam pada saat itu, segera berakhir. Sehingga masyarakat Desa Kedungsalam bisa segera sehat dan kembali beraktivitas seperti sedia kala.

“Setelah diadakan Labuhan atau Larung Sesaji tersebut, pagebluk berangsur-angsur menghilang,” terangnya.

Semenjak saat itu, tradisi Larung Sesaji itupun terus dilestarikan oleh masyarakat Desa Kedungsalam. Hingga kini tradisi Labuhan Gunung Kombang Pantai Ngliyep telah dilaksanakan pada setiap tahunnya sejak 113 tahun lamanya.

“Pada hari Kamis Kliwon tanggal 10 Oktober 2022 atau 13 Mulud 1444 hijriah, kami telah melakukan ritual Labuh Sesaji di Gunung Kombang yang ke 113. Acara ini merupakan adat asli Desa Kedungsalam yang dilakukan secara turun-temurun hingga saat ini,” ucap Iwan.

Jika dikomparasikan dengan tahun masehi, terdapat selisih sekitar 3 tahun. Di mana, jika dihitung secara tahun masehi seharusnya tradisi Larung Sesaji Gunung Kombang Pantai Ngliyep telah berlangsung selama 110 tahun.

Namun perlu diketahui, dijelaskan Iwan, adat Larung Sesaji yang masih dilestarikan penduduk setempat sebagai budaya asli Desa Kedungsalam tersebut, dilaksanakan setiap tahun sesuai dengan kalender Alif-Rebo-Wage (Aboge). Hal itulah yang dimungkinkan dalam catatan sejarah tertulis agenda Larung Sesaji Gunung Kombang Pantai Ngliyep telah berlangsung 113 kali.

Hingga kini, tradisi Larung Sesaji masih dilestarikan oleh penduduk Desa Kedungsalam. Sejarah menyebut, setelah Eyang Atun meninggal atau masyarakat Desa Kedungsalam menyebut dengan istilah surut kekasidan jati, ritual Labuh Sesaji diteruskan oleh cucu dari Eyang Atun. Yakni yang bernama Eyang Supiyadi.

“Beliau merupakan Kepala Desa Kedungsalam kelima,” jelas Iwan.

Mbah Supiyadi pulang ke rahmatullah pada tahun 1979. Selanjutnya tradisi Labuhan semenjak Mbah Supiyadi meninggal diteruskan oleh Mbah Supangat. Beliau merupakan adik dari Mbah Supiyadi.

“Mbah Supangat meninggal pada tahun 2010, sehingga sejak saat itu kegiatan Labuh Sesaji diteruskan oleh anak dari Mbah Supangat yang bernama Bapak Gatot,” jelasnya.

Dalam sejarahnya, Bapak Gatot meninggal pada tahun 2020. Semenjak beliau meninggal, tradisi Labuhan dilanjutkan oleh Bapak Keseno yang merupakan keponakan dari Mbah Supiyadi.

“Tahun ini (2023) juga akan diadakan larung, acaranya pada 30 September hari Sabtu,” tukas Iwan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Next Post

Nama-Nama Sejarah Kerajaan Bercorak Islam di Indonesia

Sen Okt 2 , 2023
MENOREH.CO – Indonesia dikenal sebagai negara yang mayoritas penduduknya beragama Muslim. Hal ini tidak lepas dari keberadaan kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia pada zaman dulu yang meninggalkan budaya dan pengaruh Islam yang kuat di Nusantara. Dijelaskan dalam buku Ensiklopedia Lengkap Indonesia oleh Adi Sudirman, Islam diperkirakan masuk ke Indonesia pada abad […]

Kamu mungkin suka

%d blogger menyukai ini: