Lolos WBTB, Dalang Wayang Othok Obrol Tinggal Satu Orang

Menoreh.co – Berbagai jenis wayang hidup dan berkembang di Indonesia. Salah satunya adalah wayang othok obrol yang kini hampir punah. Upaya pelestarian wayang itu terus dilakukan.

WAYANG adalah pertunjukan kebudayaan masyarakat Nusantara. Kehadirannya sudah ada sejak era kerajaan HinduBuddha dengan berbagai macam lakon yang mengandung pesan luhur untuk penontonnya.

Masyarakat pada umumnya mengenal wayang dengan cerita Ramayana yang mengisahkan perjuangan Pandawa melawan Kurawa. Beragam lakon dibalut dengan alunan gamelan, nyanyian sinden, dan suluk dalang yang bertujuan membawa para penonton masuk ke dalam cerita yang dibawakan.

Lambat laun kesenian asli Tanah Air itu mulai tergerus zaman, bahkan nyaris punah. Salah satunya yakni wayang othok obrol di Wonosobo. Sejumlah pihak berupaya melestarikannya agar tetap hidup.

Menurut Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Wonosobo Agus Wibowo, wayang othok obrol merupakan ”sempalan” wayang Kedu yang berkembang sejak tahun 1620-an pada era pemerintahan Sultan Agung selaku Raja Mataram, dengan dalang Ki Gondo Wiradipa.

”Pada beberapa generasi selanjutnya, wayang Kedu berkembang pula di wilayah Kabupaten Wonosobo. Wayang ini tumbuh di Desa Selokromo, Kecamatan Leksono, namun dengan pakem yang berbeda,” jelasnya.

Dibanding wayang gagrak (gaya) Mataram pada umumnya, wayang othok
obrol mempunyai ciri khas tersendiri. Antara lain sunggingan tokoh wayang dan suluk dalang yang berbeda, ketiadaan sinden atau wiraswara, gamelan yang tidak lengkap atau hanya tujuh alat gamelan, notasi gamelannya yang lebih sederhana, dan biasanya lebih banyak menggelar lakon ruwatan.

”Wayang othok obrol membawakan kisah dari Mahabarata dan Ramayana
dengan lakon seperti Murti Serat, Raja Kengsi, Andhaliretna, atau yang paling populer Semar Supit dan Semar Cukur. Pembawaan lakon yang merakyat dan ringan namun bermakna inilah yang membuat wayang othok obrol populer. Terlebih, hanya membutuhkan satu dalang dan delapan niyaga (penabuh gamelan), tanpa sinden, sehingga biaya operasionalnya cukup terjangkau,” ungkap Agus.

Popularitas kesenian wayang othok obrol meredup seiring dengan arus globalisasi dan perkembangan media sosial. Di sisi lain, wayang itu dinilai terlalu pakem dan tidak mampu menyesuaikan dengan tuntutan zaman, sehingga perlahan-lahan kehilangan pasarnya.

Warisan pedalangan yang telah bertahan selama enam generasi ini terancam tidak ada penerusnya. Calon dalang othok obrol menghadapi godaan berupa gagrak lain yang lebih populer.

Meski demikian, upaya pelestarian terus dilakukan. Terbaru, kesenian ini lolos verifikasi kajian Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek).

Hal itu melengkapi beberapa tradisi lain Wonosobo yang telah terdaftar sebagai WBTB. Misalnya Ruwatan Rambut Gimbal pada 2016, Hak-hakan pada 2018, serta Tari Topeng Lengger dan Bundengan pada 2020.

Pada 2022 ini, Disparbud Wonosobo akan kembali mengajukan pencatatan
tiga objek prioritas sebagai WBTB, yaitu Wayang Kedu Gagrak Wonosobo, serta
kuliner Mi Ongklok dan Bucu Pendem.

”Ketiganya merupakan warisan kearifan lokal yang patut kita banggakan dan lestarikan,” kata Agus.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Next Post

Kisah Dibalik Penulisan Al-Quran Akbar di Wonosobo

Sen Apr 11 , 2022
WONOSOBO, Menoreh.co – Alquran dengan ukuran kecil sudah biasa, namun di tangan Hayatuddin, kitab suci umat Islam ini disulap dengan ukuran raksasa. Sudah lebih dari sepuluh alquran raksasa ia tuliskan. Kini karyanya sudah tersebar ke berbagai daerah bahkan sampai ke Brunei Darussalam. Pembuatan alquran dengan ukuran besar ini dimulai Hayatuddin […]

Kamu mungkin suka